Minggu lalu melakukan “perjalanan” ke Jogja. Jogja, tempat yang selalu istimewa. Pulang ke Jogja, selalu ada setangkup haru dalam rindu. Jogja selalu berbeda dibanding banyak tempat yang sudah dikunjungi. Makanya ga pernah bosan ke Jogja. Kalau liburan maunya ke Jogja saja.
Hampir seminggu di Jogja, namun ga begitu banyak tempat yang dikunjungi . Niatnya emang mau bersantai dengan suasana baru dan berbeda. Tidur, baca buku, ngobrol, makan, keliling kota tanpa ngoyo ngunjungi onjek objek wisata yang lagi hits. Dari awal sebelum keberangkatan sudah meniatkan diri akan mengnjungi Goa Maria Sendangsono. Sedikit terinspirasi dari film Tiga Hari Untuk Selamanya sih. Entah mengapa kepengen banget ke Sendangsono. Serasa ada yang memanggil untuk mampir kesana. #Halah
Jarak dari Prawirotaman (tempat nginep) ke Sendangsono sekitar 45 km. Kalau kata Google Maps bisa ditempuh selama satu jam. Jreng jreng…akhirnya berangkat jam 04.30 (subuh) menyusuri jalanan yang masih gelap ditemani bulan yang bersinar sangat terang (baru tau kalau malamnya bakal ada Super Blue Blood Moon)
Ga takut sendirian subuh subuh motoran jauh?
“Gak sih..”
Dulu pernah ke Kedung Pedut sendirian, ke Kalibiru juga sendiri. Rutenya hampir samalah, lewat Godean Hitz (Minjem istilah Tito nyebut arah rumahnya Adry, teman teman nebengers Jogja). Berbekal Google Maps dan “kerinduan” akhirnya menembus jalanan mulus “mencari kitab suci ke Barat”, Baratnya Jogja. Udah berusaha ngapalin jalanan dari Google Maps tapi tetep lupa juga. Wajar sih karena masih subuh jadi sulit ngeliat tanda petunjuk jalan. Naluri sebagai makhluk sosialpun terpanggil. Bertanya ke orang orang yang dipinggir jalan. Bapak/Ibu Mas/Mbak yang baru pulang sholat subuh.
Di sekitar desa Banjarsari Boro, tepatnya di pertigaan yang ada Gereja agak ke atas sikit (Gereja Santa Theresia Lisieux Boro), jalan ke Sendangsono mulai menanjak, menyempit, menikung dan menurun. Suasana perbukitan Menoreh sudah mulai terasa. Udara sejuk, hamparan kebun Jati, rumah rumah tradisional warga, pohon durian yang berbuah menghiasi perjalanan. Sengaja laju diperlambat karena medan jalan yg cukup menanjak. Kondisi jalan relatif bagus, bahkan cenderung mulus. (Ga kayak jalanan di Sumut yang onde mande bikin sakit kepala).
Jalanan yang mulus dipagari pepohonan Jati
Rumah warga
Pohon Durian di pinggir jalan
Pohon Natal dari sabuk kelapa
Sekitar pukul 06.00 WIB sampailah di Sendangsono. Berjumpa lagi dengan Maria dalam wujud yang lain. Ah senangnya…!! Sebongkah kerinduan tuntas sudah. Maria sang pelipur lara, Sendangsono pelabuhan jiwa yang gelisah.
Terkadang getirnya hidup, kepenatan, kegelisahan, kerinduan yang entah untuk siapa hanya membutuhkan satu pelepasan, diam berdoa mendekatkan diri kepada Sang Empunya Kehidupan. Gak harus ke tempat tempat khusus sih, tapi berziarah bisa menjadi opsi. Bukan hanya soal tempatnya, namun juga proses mencapai tempat tersebut. Niat, tekad dan kerinduan. Perjalanan menyusuri dan menyaksikan berbagai sisi kehidupan memperkaya makna ziarah itu sendiri.
Goa Maria Sendangsono berada di kawasan yang sangat asri, terletak d kaki lembah pegunungan yang dibelah sebuah sungai. Penataan kawasan peziarahan dibangun mengikuti kontur asli kawasan tersebut. Selain patung Bunda Maria, ada beberapa kapel untuk berdoa. Ada beberapa tempat beristirahat untuk para peziarah. Sendangsono yang berarti mata air dari pohon Sono masih bisa dilihat dari balik kaca kaca penutup. Air sudah dialirkan ke keran keran untuk memudahkan para peziarah. Kawasan Goa Maria Sendagsono ditata ulang Romo Mangun. Arsitektur kawasan ini pernah mendapat penghargaan dari Ikatan Arsitek Indonesia. Unik dan menarik memang.
Pagi hari kawasan Goa Maria Sendangsono masih sepi. Jangankan peziarah, para pekerja yang bersih bersih juga belum kelihatan. Suasana jadi lebih khusyuk dan syahdu. Yang ada hanya kicauan burung dalam balutan mentari pagi yang masih malu malu.
Pukul 07.00 memutuskan beranjak pulang. Jalan pulang terasa lebih ringan. Menikmati sendi sendi kehidupan yang mulai menggeliat. Penduduk sekitar sudah mulai beraktivitas. Perjumpaan di jalan selalu diselingi dengan senyum, keramahan khas masyarakat desa di Jogja. Di tengah perjalanan menyempatkan diri berkunjung dan berdoa di makam Rm Prennthaler dan Taman Doa Bunda Maria Pelindung Keluarga. Lokasinya di jalan pulang dari Sendangsono menjelang pertigaan Gereja St Theresia Boro.
Taman Doa Bunda Maria Pelindung Keluarga
Gereja St Theresia Lisieux Boro
Di jalan pulang dari Sendangsono, mampir ke Pasar Banjarsari. Pasarnya tidak terlalu ramai. Liatin ada ibu ibu jualan tempe (awal liatin sih aneh, tapi coba tanya tanya dan beli). Tempe benguk. Rasanya unik.
Sepanjang perjalanan pulang akan dimanjakan pemandangan khas pedesaan. Hamparan padi menghijau dipagari Perbukitan Menoreh. Konsonan langit (terVicky Prasetyo) melingkupi, sementara mentari pagi gagah menyinari.
Kali Progo yang membelah Kulon Progo, melengkapi deretan karya nyata Sang Pencipta.
Terima kasih komentar nya…